Den Haag - Ucapan selamat adalah masalah non-ritual, tidak berkaitan dengan ibadah, tapi muamalah. Pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadis yang melarang.
Hal itu dituturkan Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA kepada detikcom, Sabtu (18/12/2010), merujuk isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Jumat sehari sebelumnya.
Tema ucapan selamat Natal diangkat karena hampir setiap tahun muncul pertanyaan sekitar hukum ucapan selamat Natal bagi seorang muslim, khususnya di Belanda.
Menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal.
"Bahkan dalam Al Quran Surat An Nisa Ayat 86 umat Islam diperintahkan untuk membalas salam dari siapa pun tanpa ada batasan ucapan itu datang dari siapa," ujar Sofjan.
Lanjut Sofjan, bagi orang yang mengklaim ucapan selamat kepada orang non-muslim tidak boleh, seharusnya mendatangkan dalil dan argumentasinya dari Al Quran atau Hadits. Dan itu tidak ada.
Adapun hadis dari Aisyah yang berbunyi, "Jangan ucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani," adalah dalam konteks dan latar belakang perang dengan Bani Quraizah ketika itu.
"Seperti halnya banyak larangan berkaitan dengan kafir pada umumnya adalah berkaitan dengan kafir al harbi atau combatant," terang Sofjan.
Umat Islam khususnya di Belanda dan Eropa atau Indonesia bukan dalam keadaan perang, sehingga diperintahkan oleh agama agar berlaku adil dalam bergaul dalam masyarakat multikultural.
Salah satu bentuk birr, qistu, adil dan ihsan adalah saling hormat-menghormati dalam pergaulan termasuk memberi dan membalas salam.
Hal ini juga sesuai dengan Surat Al Mumtahinah Ayat 9. "Jika memakan sembelihan ahli kitab adalah halal seperti halal dan bolehnya mengawini wanita ahli kitab, tentu melarang untuk mengucapkan salam termasuk yang tidak mungkin, karena lebih dari itu pun sudah halal dan dibolehkan," papar doktor bidang syariah ini.
Adapun ayat yang melarang al muwalah seperti dalam Surah Al Mumtahinah Ayat 9 menjadikan orang non-muslim wali masuk dalam kategori mutlak, yang dibatasi cakupan larangannya dalam keadaan perang oleh ayat lain, hal ini dalam istilah fiqihnya disebut muqayyad.
Ayat 9 Al Mumtahinah adalah ayat terakhir turun tentang al muwalah. Maka hanya ada dua kemungkinan status hukumnya: menafsir dan menjelaskan ayat mutlak yang diturunkan sebelumnya, atau berfungsi menasikh (abrogasi) ayat sebelumnya.
Maka sesuai dengan kaidah usuliyah: annal mutlaq minan nushush yuhmal alalmuqayyad idza ittahadal hukmu was sabab.
Dalam hal ini hukum dalam keduanya adalah satu yaitu haramnya al muwalah, sebabnya juga satu yaitu karena sebab kekufuran, sehingga ayat yang mutlak (absolut) dimasukkan ke dalam ayat muqayyad, berarti sebab hukum haram adalah karena al kufur al muharib (kafir combatant).
Jadi, al muwalah itu haram hukumnya kepada orang kafir combatant yang sedang berperang dengan orang Islam, adapun kafir bukan harbi dikecualikan dari ayat itu.
Banyak ulama yang membolehkan salam kepada orang non-muslim yang tidak harbi, seperti Ibnu Masud, Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al Auzayi, An Nakhoi, Attobary dll.
Hal itu dituturkan Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA kepada detikcom, Sabtu (18/12/2010), merujuk isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Jumat sehari sebelumnya.
Tema ucapan selamat Natal diangkat karena hampir setiap tahun muncul pertanyaan sekitar hukum ucapan selamat Natal bagi seorang muslim, khususnya di Belanda.
Menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal.
"Bahkan dalam Al Quran Surat An Nisa Ayat 86 umat Islam diperintahkan untuk membalas salam dari siapa pun tanpa ada batasan ucapan itu datang dari siapa," ujar Sofjan.
Lanjut Sofjan, bagi orang yang mengklaim ucapan selamat kepada orang non-muslim tidak boleh, seharusnya mendatangkan dalil dan argumentasinya dari Al Quran atau Hadits. Dan itu tidak ada.
Adapun hadis dari Aisyah yang berbunyi, "Jangan ucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani," adalah dalam konteks dan latar belakang perang dengan Bani Quraizah ketika itu.
"Seperti halnya banyak larangan berkaitan dengan kafir pada umumnya adalah berkaitan dengan kafir al harbi atau combatant," terang Sofjan.
Umat Islam khususnya di Belanda dan Eropa atau Indonesia bukan dalam keadaan perang, sehingga diperintahkan oleh agama agar berlaku adil dalam bergaul dalam masyarakat multikultural.
Salah satu bentuk birr, qistu, adil dan ihsan adalah saling hormat-menghormati dalam pergaulan termasuk memberi dan membalas salam.
Hal ini juga sesuai dengan Surat Al Mumtahinah Ayat 9. "Jika memakan sembelihan ahli kitab adalah halal seperti halal dan bolehnya mengawini wanita ahli kitab, tentu melarang untuk mengucapkan salam termasuk yang tidak mungkin, karena lebih dari itu pun sudah halal dan dibolehkan," papar doktor bidang syariah ini.
Adapun ayat yang melarang al muwalah seperti dalam Surah Al Mumtahinah Ayat 9 menjadikan orang non-muslim wali masuk dalam kategori mutlak, yang dibatasi cakupan larangannya dalam keadaan perang oleh ayat lain, hal ini dalam istilah fiqihnya disebut muqayyad.
Ayat 9 Al Mumtahinah adalah ayat terakhir turun tentang al muwalah. Maka hanya ada dua kemungkinan status hukumnya: menafsir dan menjelaskan ayat mutlak yang diturunkan sebelumnya, atau berfungsi menasikh (abrogasi) ayat sebelumnya.
Maka sesuai dengan kaidah usuliyah: annal mutlaq minan nushush yuhmal alalmuqayyad idza ittahadal hukmu was sabab.
Dalam hal ini hukum dalam keduanya adalah satu yaitu haramnya al muwalah, sebabnya juga satu yaitu karena sebab kekufuran, sehingga ayat yang mutlak (absolut) dimasukkan ke dalam ayat muqayyad, berarti sebab hukum haram adalah karena al kufur al muharib (kafir combatant).
Jadi, al muwalah itu haram hukumnya kepada orang kafir combatant yang sedang berperang dengan orang Islam, adapun kafir bukan harbi dikecualikan dari ayat itu.
Banyak ulama yang membolehkan salam kepada orang non-muslim yang tidak harbi, seperti Ibnu Masud, Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al Auzayi, An Nakhoi, Attobary dll.
0 comments:
Post a Comment